Malam itu mulai larut. Ku lihat jarum jam di bis menunjukkan pukul sebelas. Hampir semua penumpang terlelap tidur-mungkin karena lelah-setelah seharian berkeliling study tour biologi. Ya, Aku dan rombongan baru saja dari salah satu pantai di Jogja. Kami satu angkatan kelas X di SMA Negeri 1 Jogorogo. Meski sekolah pinggiran, namun cukup berprestasi dan bergengsi di kota kelahiranku-Ngawi.
Suara mesin bis terdengar menderu, namun tak merisaukan penumpang untuk tetap menikmati tidurnya. Lalu-lalang kendaraan pun juga sepi-maklum ini jalan di pinggiran kota. Tak banyak lampu di sepanjang jalan yang aku lalui. Terkadang sunyi dan gelap saat melintasi persawahan.
Bis yang ku tumpangi memasuki kawasan perkampungan. Bis mulai melambat saat akan melintasi tikungan. "Bentar lagi sampai", gumamku dalam hati. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang bawaanku agar tidak ada barang yang tertinggal saat turun. Benar saja, selang beberapa saat bus berhenti di dekat pertigaan jalan masuk ke arah rumahku.
"Mam, titip Eny ya, antarkan sampai rumah", seru pak Naryo guru biologi.
"Iya pak" sahutku sembari dengan senyum datar.
Imam. Teman-teman dan para guru memanggilku. Aku pun turun bersama dengan seorang wanita. Eny Syafa'ati, itulah namanya. Eny, biasa aku dan teman-teman memanggilnya. Dia tak banyak bicara. Dia kemasi barang-barangnya dan turun. Senyum tipis nampak di bibirnya sesaat sebelum bis yang kami tumpangi berjalan. Bis itu berjalan pelan kemudian agak cepat, semakin jauh dan hilang di persimpangan jalan.
Terasa kaku lidah ini untuk berucap. Baru pertama kali ini aku berjalan bersama seorang wanita di bawah langit malam. Rumahnya satu jalur denganku, namun jarak rumahnya lebih jauh. Kami lalui jalan tanah yang tidak rata dan berbatu. Di kanan-kiri jalan, pintu rumah-rumah tertutup rapat dan lampu-lampu dimatikan. Sepi.
Kulihat barang bawaannya cukup banyak. Barang bawaanku sendiri cukup banyak: sekeranjang buah salak serta alat-alat untuk study tadi siang.
"Mungkin berat, dia membawa barang-barang itu" gumamku dalam hati.
"Sini, biar aku bantu bawa" memecah keheningan diantara kami. Aku menawarkan bantuan.
"Udah ndak apa-apa, Aku bisa kok bawa sendiri" sahutnya menolak tawaranku sambil berjalan.
"Sini aku bawain" Aku sedikit memaksakan. Ku imbangi dia berjalan.
"Ndak apa-apa, Aku kuat bawa sendiri" Dia tetap menolak.
"OK lah" jawabku datar.
Hening tanpa kata dalam beberapa saat. Kami berjalan bersama, membawa barang kami masing-masing. Sejauh mata memandang terbentang gelap. Hanya remang-remang cahaya dari nun jauh. Desir angin malam berhembus membawa dingin. Daun-daun menari bersama sang angin. Sang rembulan enggan menyuguhkan cahaya. Bintang-bintang malu untuk berkelip. Suara-suara binatang bersahutan-seakan bersuka cita dalam gelap. Kami memasuki jalan yang melintasi persawahan. (bersambung)
READ FULL ARTICLE - Sesal Merubah Pikiran 1
Suara mesin bis terdengar menderu, namun tak merisaukan penumpang untuk tetap menikmati tidurnya. Lalu-lalang kendaraan pun juga sepi-maklum ini jalan di pinggiran kota. Tak banyak lampu di sepanjang jalan yang aku lalui. Terkadang sunyi dan gelap saat melintasi persawahan.
Bis yang ku tumpangi memasuki kawasan perkampungan. Bis mulai melambat saat akan melintasi tikungan. "Bentar lagi sampai", gumamku dalam hati. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang bawaanku agar tidak ada barang yang tertinggal saat turun. Benar saja, selang beberapa saat bus berhenti di dekat pertigaan jalan masuk ke arah rumahku.
"Mam, titip Eny ya, antarkan sampai rumah", seru pak Naryo guru biologi.
"Iya pak" sahutku sembari dengan senyum datar.
Imam. Teman-teman dan para guru memanggilku. Aku pun turun bersama dengan seorang wanita. Eny Syafa'ati, itulah namanya. Eny, biasa aku dan teman-teman memanggilnya. Dia tak banyak bicara. Dia kemasi barang-barangnya dan turun. Senyum tipis nampak di bibirnya sesaat sebelum bis yang kami tumpangi berjalan. Bis itu berjalan pelan kemudian agak cepat, semakin jauh dan hilang di persimpangan jalan.
Terasa kaku lidah ini untuk berucap. Baru pertama kali ini aku berjalan bersama seorang wanita di bawah langit malam. Rumahnya satu jalur denganku, namun jarak rumahnya lebih jauh. Kami lalui jalan tanah yang tidak rata dan berbatu. Di kanan-kiri jalan, pintu rumah-rumah tertutup rapat dan lampu-lampu dimatikan. Sepi.
Kulihat barang bawaannya cukup banyak. Barang bawaanku sendiri cukup banyak: sekeranjang buah salak serta alat-alat untuk study tadi siang.
"Mungkin berat, dia membawa barang-barang itu" gumamku dalam hati.
"Sini, biar aku bantu bawa" memecah keheningan diantara kami. Aku menawarkan bantuan.
"Udah ndak apa-apa, Aku bisa kok bawa sendiri" sahutnya menolak tawaranku sambil berjalan.
"Sini aku bawain" Aku sedikit memaksakan. Ku imbangi dia berjalan.
"Ndak apa-apa, Aku kuat bawa sendiri" Dia tetap menolak.
"OK lah" jawabku datar.
Hening tanpa kata dalam beberapa saat. Kami berjalan bersama, membawa barang kami masing-masing. Sejauh mata memandang terbentang gelap. Hanya remang-remang cahaya dari nun jauh. Desir angin malam berhembus membawa dingin. Daun-daun menari bersama sang angin. Sang rembulan enggan menyuguhkan cahaya. Bintang-bintang malu untuk berkelip. Suara-suara binatang bersahutan-seakan bersuka cita dalam gelap. Kami memasuki jalan yang melintasi persawahan. (bersambung)